Senin, 11 Januari 2010

bioetika

Keilmuan dan teknologi biologi molekular terus berkembang. Tanda tanya besar yang selama ini terus menggelitik ilmuan terntang eksistensi manusia pun perlahan mulai terkuak.
Pertengahan April 2003, sebuah proyek mega raksasa dunia, Human Genome Project (HGP), yang dilakukan oleh National Center for Human Genome Research (NCHGR) dan peneliti HPG lainnya diumumkan telah berakhir. Tapi bukan berarti dengan selesainya proyek ini, semua tabir rahasia kehidupan dari kode-kode genetika telah selesai dibongkar, dan mungkin tidak akan pernah selesai. Masih tersisa 1% gen yang mengandung eukromatin yang dipercaya tidak bisa dirangkai karena mereka tidak stabil pada semua vektor.
Meski demikian, HGP merupakan suatu lompatan luar biasa dalam penelitian biologi molekular. HGP dikembangkan untuk mengontrol informasi genetik pada tubuh manusia. Dalam dunia kedokteran, hasil HPG bisa berdampak dalam perbaikan kesehatan secara menyeluruh. Dengan mengungkap semua genoma manusia, maka bisa dikembangkan strategi untuk mengindentikasi gen yang berkontribusi dalam menimbulkan suatu penyakit. Hasil HGP juga akan semakin mendorong perkembangan terapi genetik (targeted therapy). Tapi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan rangkaian genoma manusia dalam perawatan kesehatan tidak bisa diramalkan. Sekarang proses ini baru saja dimulai, seperti pengembangan obat yang secara tepat menembak protein BRAF. Mutasi protein ini berdasarkan hasil penelitian terlibat dalam 70% penyakit keganasan.
Mutasi gen diduga juga berperan penting dalam menyebabkan sebagian besar penyakit yang berkembang saat ini, semisal penyakit jantung, diabetes, gangguan sistem imun, dan birth defect. Penyakit ini diyakini merupakan hasil kolaborasi kompleks antara gen dengan faktor lingkungan. Nah bila gen yang berkontribusi tadi telah berhasil diidentifikasi, maka ilmuan bisa mempelajari bagaimana spesifiknya faktor lingkungan, seperti makanan, obat, polutan, berinteraksi gen tersebut. Selanjutnya tentu bisa dicari strategi untuk mengoreksi dan mengendalikan interaksi itu dan menjadikannya sebagai modalitas terapi.
Pembongkaran genoma manusia juga akan memungkinkan penemuan varian yang berisiko tinggi terhadap suatu penyakit. Hal ini sangat berguna untuk diagnosis pada tahap sangat dini, bahkan sebelum gejala muncul. Untuk penyakit kanker misalnya, dengan mengetahui seorang terdiagnosis sejak awal secara genetik berisiko kanker, maka dia akan bisa melakukan pencegahan dengan menghindari faktor risiko lainnya, semisal makanan, polutan, sinar UV, serta jika perlu pemberian terapi preventif.
Meskipun memberi manfaat besar, namun bukan berarti HGP tanpa pertentangan sama sekali. Banyak pertanyaan yang muncul terhadap proyek ini. Seandainya suatu saat nanti memungkinkan dilakukan tes genetik lengkap sehingga memberikan data gen yang menyeluruh dari seseorang, bagaimana prosedur untuk menjaga agar data itu tetap aman, rahasia, dan hanya jadi milik pribadi? Pasalnya bila data ini tidak terjamin kerahasiaanya, maka akan banyak masalah sosial yang akan timbul. Misalnya saja, pemberhentian dari tempat kerja atau agen asuransi meminta pembayaran premi lebih tinggi, 3-4 kali lipat, saat tahu individu terkait memiliki gen kanker. Diskriminasi akan bertambah, tak hanya ras, agama, suku, bangsa, warna kulit, tapi meningkat menjadi diskriminasi genetik.
Kemungkinan untuk melalukan early diagnosis atau diagnosis genetik seperti diungkapkan diatas juga akan berpotensi menimbulkan masalah. Seseorang yang tidak optimis dan tahu sejak lama bahwa dirinya akan menderita kanker bisa saja mengalami depresi dan ansietas. Alih-alih melakukan pencegahan, malah penyakitnya kian cepat datang akibat kondisi psikis yang buruk tadi. Apalagi seseorang yang kemudian didiagnosis dengan gangguan genetik, tapi pengobatannya belum ada hingga saat ini. Misalnya saja, mutasi gen beta-globin yang dihasilkan pada penyakit sel sickle yang diidentifikasi pada 1956, tapi hingga kini belum ada pengobatannya.
Menurut Prof. Dr. Muhammad Kamil Tadjudin, SpAnd, Anggota Komisi Bioetika UNESCO, selama suatu penelitian HGP memberikan manfaat besar dan disertai niat dan dikerjakan dengan baik bukanlah suatu masalah. Namun apabila penelitian berdampak besar negatif pada kehidupan sosial atau kemashlatan umat, serta melenceng dari tujuh syarat utama penelitian biomedik, barulah perlu ditentang secara bioetika. (lihat tabel 1)
Tabel.1. Tujuh syarat etika penelitian biomedik
Syarat
Keterangan
Alasan etika
Kepakaran penilai
1. Nilai sosial dan ilmiah
Penilaian suatu pengobatan, tindakan atau teori yang akan meningkatkan kesehatan atau pengetahuan
Sumberdaya yang terbatas dan prinsip non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait dan pemahaman tentang prioritas sosial
2. Validitas ilmiah
Penggunaan prinsip dan metodologi ilmiah, termasuk pengujian statistik yang akan menghasilkan data yang dapat dipercaya dan sahih
Sumberdaya yang terbatas dan prinsip non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait dan metode statistik;
Pengetahuan tentang keadaan masyarakat untuk dapat menentukan keberhasilan
3. Pemilihan subyek penelitian yang adil
Pemilihan subyek penelitian dilakukan sedemikian rupa sehingga orang cacat dan rentan menjadi sasaran untuk penelitian yang berisiko tinggi dan golongan sosial atas tidak terpilih untuk penelitian yang kemungkinan besar akan berhasil
Keadilan
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan tenang etika dan hukum
4. Ratio untung-rugi yang baik
Mengurangi bahaya; meningkatkan kemungkinan berhasil; bahaya yang akan dialami subyek seimbang dengan keuntungan yang mungkin diperolehnya atau diperoleh masyarakat
Tidak merugikan orang, menguntungkan, dan non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait; pemahaman tentang nilai-nilai sosial masyarakat
5. Penilaian oleh pihak independen
Penilaian rancangan penelitian, subyek penelitian dan ratio untung-rugi untuk orang-orang yang tidak terlibat dalam penelitian itu
Akuntabilitas publik; meminimalkan konflik kepentingan
Peneliti yang tidak mempunyai hubungan intelektual, finansial dan independen; pengetahuan ilmiah dan etika
6. Pemberian persetujuan atas dasar mengerti
Penjelasan kepada subyek tentang tujuan, prosedur, bahaya, keuntungan, penelitian ini dan alternatif-alternatif yang tersedia, sehingga subyek mengerti keterangan yang diberikan dan dapat membuat keputusan sukarela untuk turut serta atau tidak
Penghormatan kepada otonomi individu
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan hukum, dan etika
7. Penghormatan kepada calon subyek dan subyek penelitian
Penghormatan untuk subyek melalui:
(1) Mengizinkan menarik diri dari proyek penelitian
(2) Melindungi rahasia pribadi
(3) Memberitahu subyek jika ada perkembangan baru dalam bahaya dan keuntungan
(4) Memberitahu subyek tentang hasil penelitian
(5) Menjaga kesejahteraan dan keselamatan subyek
Penghormatan kepada otonomi dan kesejahteraan individu
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan hukum dan etika; pengetahuan tentang masyarakat subyek
Stem Cell
Pro-kontra terhadap perkembangan biologi molekuler kedokteran juga terjadi dalam bidang penelitian stem cell. Menurut Tadjudin, sebenarnya prosedur stem cell itu sendiri tidaklah menentang etika. Bahkan bila dilihat dari segi hasil dan manfaat yang bisa diperoleh, teknologi ini malah sangat bagus sekali. Pasalnya, stem cell sangat berpotensi bisa mengatasi berbagai penyakit degeratif dan penyakit yang kerap memerlukan transplantasi organ.
Masalah stem cell, lanjut Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kemasyarakatan Universitas Islam Negeri Jakarta ini, sebenarnya hanya terkait dengan sumbernya. Bila sumbernya berasal dari embrio, itu baru jadi masalah. Apakah embrio itu sudah dihitung sebagai suatu makhluk hidup? Nah, hal inilah yang dipertentangkan. Kemudian hal lain yang dikhawatirkan adalah timbulnya peternakan embrio, atau orang sengaja membuat embrio lalu hamil dan aborsi untuk mendapat stem cell. “Lain halnya kalau memang sumbernya dari abortus spontan, menurut saya sih tidak apa-apa dari pada mubazir. Tapi kembali lagi pada masalah embrio itu apakah makhluk hidup. Kalau dalam Islam, apabila hal itu niat dan tujuannya baik, dan embrio belum ditiupkan roh, maka tidak apa-apa. Tapi kalau Kristen jelas menentang hal ini,“ ujar pria lahiran Jakarta, 3 November l937 ini seraya menjelaskan bahwa masalah etika itu terkait dengan banyak aspek dari nilai kemanusiaan dan kepercayaan.
Bayi Tabung, Pemilihan Jenis Kelamin, dan Early Prenatal Diagnosis
Kemajuan teknologi dan biologi kedokteran telah berhasil membantu pasangan yang mengalami masalah kesuburan untuk memperoleh buah cinta mereka, bahkan bisa memilih jenis kelamin serta diagnosis gangguan genetik bakal janin. Di Tanah Air, teknologi yang bisa dinikmati baru sampai pada pembuatan bayi tabung. Di Makmal Terpadu FKUI harga ditawarkan cukup terjangkau dengan satu siklus sekitar 30- 40 juta rupiah. Namun yang menjadi masalah keberhasilan bayi tabung di Indonesia masih kecil, sekitar 10%.
Dari segi etika, pembuatan bayi tabung tidak melanggar, tapi dengan syarat sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah. Jangan sampai sperma berasal dari bank sperma, atau ovum dari pendonor. Sementara untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi sebagian yang menentang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang bukan muhrimnya.
Untuk masalah pemilihan jenis kelamin, kata Tadjudin, secara teknis bisa dilakukan. Misalnya pada pembuatan bayi tabung dilakukan pemisahan kromosom X dan Y, baru kemudian dilakukan pembuahan in vitro sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan. Dalam Islam hal ini jelas tidak diperbolehkan. Selain menyalahi keinginan yang Maha Pencipta, pemilihan jenis kelamin tentu akan mengganggu keseimbangan dan keharmonisan komunitas.
Perkembangan biologi molekuler kedokteran saat ini juga memungkinkan dilakukan diagnosis awal apakah ada kelainan pada bakal janin. Menurut Tadjudin, diagnosis biasanya dilakukan pada stadium kedelapan sel. Salah satu dari delapan sel diambil dan kemudian dianalisa apakah ada kelainan genetik atau tidak. Dari segi etika hal ini tidak masalah, tapi melihat risikonya yang cukup besar, mungkin perlu dipertimbangkan. Dengan mengambil satu sel berisiko karena bisa menyebabkan cacat bahkan kematian. Sedangkan pemeriksaan janin yang telah ditanam rahim melalui intrauterin, bila masih dini dan yakin bahwa ada kelainan genetik atau penyakit yang membahayakan serta belum ada obatnya, dalam islam tidak apa-apa digugurkan. Tapi kalau dalam katolik jelas dilarang. “Pada pembuatan bayi tabung hal ini malah baik dilakukan, sehingga benar-benar dipilih yang gen-nya baik baru ditanam.“
Penelitian yang Menggunakan Materi Biologi
Berbagai penelitian yang bertujuan mengetahui penyebab, perjalanan penyakit, bahkan pencarian pengobatan biasanya menggunakan materi biologi, seperti sel, spesimen biopsi, organ dan jaringan, sebagai sumber daya utama. Dengan teknologi modern pengetahuan yang dapat diperoleh dari penelitian materi biologi manusia amat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun teknologi itu sendiri menimbulkan permasalahan etika bagi peneliti, subyek penelitian dan keluarganya, komisi etik, dan masyarakat. Selain itu juga telah timbul keprihatinan tentang diskriminasi dan stigmatisasi yang mungkin timbul sebagai akibat bocornya kerahasiaan kedokteran.
Masalah etik yang mungkin timbul adalah ; apakah materi biologi yang semula diperoleh untuk suatu tujuan tertentu, baik oleh peneliti maupun oleh penyumbang jaringan itu, boleh dipakai untuk tujuan lain, dan bagaimana jika materi biologi itu dapat diidentifikasi asal usulnya atau dapat dikaitkan dengan data medik lainnya dari seseorang ?
Menurut Tadjudin yang pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Biologi FKUI ini, identitas sampel yang digunakan ada yang diketahui karena memang perlu diketahui dan banyak yang tidak diketahui karena memang tidak perlu diketahui. Sebagian besar sampel yang terkumpul mungkin belum, bahkan tidak akan pernah dipakai untuk suatu penelitian, namun tersedianya sampel itu merupakan sumber daya ilmu pengetahuan yang amat bernilai bagi umat manusia. Selain itu, penelitian materi biologi manusia, bahkan yang sudah berumur ratusan tahun, dapat memberi keterangan bukan saja tentang individu tetapi juga tentang kelompok-kelompok, misalnya data epidemiologi.
Belum Ada Panduan Baku
Melihat perkembangan biomedik yang kian pesat tersebut, keberadaan bioetika dirasa penting untuk membatasi suatu penelitian dan penggunaan teknologi agar tidak menimbulkan hal yang merusak serta mengganggu derajat dan harkat kemanusiaan. Di Indonesia, hingga kini belum ada panduan baku bioetika disamping juga belum ada perundang-undangan yang mengatur. Tadjudin berpendapat, masalah etika itu spesifik untuk tiap kaum-kaum masyarakat. Misalnya umat Islam punya pandangan sendiri, sementara agama lain juga punya pandangan sendiri-sendiri.
“Namun kita memang perlu membuat suatu panduan baku agar bisa menghindari ekploitasi oleh negara lain. Misalnya saja, masalah kloning dan stem cell embrionik, bila Indonesia tidak punya panduan baku, takutnya akan terjadi eksodus ilmuan dari negara dimana penelitian tersebut jelas dilarang. Dan bila ketahuan oleh negara yang melarang kedua penelitian tersebut, kita bisa repot,“ ujar ayah dari Ainanur dan Lisca Zafarayan ini menutup pembicaraan.